Terdakwa Bayar Fee Proyek Rp6,1 Miliar ke Ismunandar
Aditya, Terduga Penyuap Oknum Pejabat Pemkab Kutim Disidang
HUKUMKriminal.net, SAMARINDA : Dua terdakwa dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyuapan atas sejumlah oknum pejabat Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (21/9/2020) sekitar Pukul 14:30 Wita.
Kedua terdakwa masing-masing Aditya Maharani Yuono dan Deki Aryanto, keduanya disidang bergantian oleh Majelis Hakim yang diketuai Agung Sulistiyono SH MH dengan Hakim Anggota Joni Kondolele SH MM dan Ukar Priyambodo SH HM.
Seperti yang disampaikan Plt Juru Bicara (Jubir) KPK Ali Fikri, sidang akan digelar via video conference/vicon mengingat situasi wabah pandemi Covid-19. Terdakwa, Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan Penasehat Hukum (PH) sidang dari Gedung KPK. Sedangkan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tipikor Samarinda.
Dari Gedung KPK, JPU KPK masing-masing Yoga Pratomo, Nur Haris Arhadi, yang didampingi Ariawan Agustiartono, dan Riniyati Karnasih membacakan dakwaannya mulai dari terdakwa Aditya Maharani Yuono.
Dalam dakwaannya, JPU menyebutkan, terdakwa Aditya Maharani Yuono telah melakukan beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memberi atau menjanjikan sesuatu yaitu memberikan uang sebesar Rp6.101.500.000,00 kepada Pegawai Negeri, atau Penyelenggara Negara yaitu kepada Ismunandar selaku Bupati Kutim periode Tahun 2016-2021.
Pemberian itu melalui Musyaffa sebagai Kepala Bapenda Pemerintah Kabupaten Kutim dan Aswandhini Eka Tirta sebagai Kepala Dinas PU Kabupaten Kutim, dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban, yaitu supaya Ismunandar selaku Bupati Kutim melalui Musyaffa mengupayakan terdakwa memperoleh paket pekerjaan pada dinas-dinas di lingkungan Kabupaten Kutim.
Perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban Ismunandar selaku penyelenggara negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Juga bertentangan dengan Pasal 76 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapakali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah.
Dan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, yang dilakukan terdakwa.
Dalam dakwaan JPU KPK juga disebutkan, pemberian dana kepada Ismunandar dilakukan secara bertahap yang didahului permintaan kepada Musyaffa untuk mecarikan dana sebesar Rp5 Miliar. Kemudian bertempat di ruang Kantor Bapenda, menemui terdakwa dan memintanya sebagai rekanan yang biasa mengerjakan pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Kutim, untuk menyediakan uang sebesar Rp5 Miliar yang akan digunakan untuk kepentingan Ismunandar.
Musyaffa juga menyampaikan bahwa terdakwa akan mendapatkan pekerjaan sekitar Rp15 Miliar di Dinas PU Kabupaten Kutim. Atas permintaan tersebut, terdakwa menyetujuinya. Kemudian terdakwa memberikan uang sejumlah Rp5 Miliar secara bertahap kepada Ismunandar melalui Musyaffa, yaitu pada akhir bulan Oktober 2019 sebesar Rp1 Miliar. Pada akhir bulan Nopember 2019 sebesar Rp1,5 Miliar, dan pada awal bulan Desember 2019 sebesar Rp2,5 Miliar.
Selain uang sebesar Rp5 Miliar tersebut, dalam dakwaan JPU KPK juga disebutkan beberapa lagi pemberian sehingga totalnya mencapai Rp6.101.500.000,00. Terdakwa sendiri mendapatkan pekerjaan dengan sistem lelang senilai sekitar Rp24.749.289.210,00 dari Dinas PU dengan menggunakan beberapa bendera perusahaan pinjaman, dan sekitar Rp3.420.000.000,00 dari paket pekerjaan Penunjukan Langsung (PL) sebanyak 19 paket.
Aditya Maharani Yuono kemudian didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP dalam dakwaan Pertama.
Atau Kedua, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 200, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Terhadap dakwaan JPU, terdakwa yang ditanya Ketua Majelis Hakim usai pembacaan dakwaan mengatakan mengerti dakwaan tersebut. Melalui Penasehat Hukumnya (PH), menyatakan tidak melakukan eksepsi.
Berita terkait : Perkara 2 Terduga Penyuap Bupati Kutim Dilimpahkan KPK ke PN Tipikor
Usai sidang, menjawab pertanyaan HUKUMKrimiKnal.net alasan tidak melakukan eksepsi, M Ibrahim Andika yang didampingi Deni Ardiansyah, PH terdakwa mengatakan itu pertimbangan pihaknya dan kliennya yang telah melakukan konsultasi duluan, terkait azas biaya murah.
“Kita langsung kepada pokok perkara. Masalah eksepsi atau tidak, itu adalah pertimbangan dari kita dan kliennya juga untuk tidak melakukan eksepsi. Jadi memang kita langsung masuk pokok perkara,” jelas Ibrahim.
Sidang selanjutnya akan digelar kembali Senin depan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. Dalam menjalani sidang ini, terdakwa Aditya didampingi 9 orang Advokat dari Kantor Hukum Mira Konselor@law. (HK.net)
Penulis : Lukman