Angga : Pembebasan Lahan Dilakukan Pada Tahun 2009-2014

PT SAWA Sebut Sudah Bayar Lahan Warga Long Bentuq

Berita Utama Lingkungan Sosial
Perkebunan Sawit Milik PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) kini telah berproduksi. (Ist)
HUKUMKriminal.net, KUTAI TIMUR : Konflik yang terjadi antara PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) dengan masyarakat adat Long Bentuq, yang berbuntut masyarakat turun unjuk rasa di jalan dan melakukan penutupan jalan ditanggapi manajemen PT SAWA.

Dalam keterangan tertulisnya General Manager Licence & CSR PT SAWA Angga Rachmat Perdana mengatakan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT SAWA telah memberikan ganti rugi atas seluruh bidang tanah yang dipersoalkan Kepala Adat Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kutai Timur.

“Pembebasan lahan dilakukan pada tahun 2009-2014, dengan melibatkan Tim 9 dari Pemda dan Kepala Adat Dayak dari 3 Desa yakni Desa Long Pejeng, Long Lees dan Long Nyelong, juga Kepala Adat Besar Suku Dayak Kenyah Se-Sei Atan,” kata Angga kepada media, Jum’at (5/2/2021).

Ia menjelaskan lebih lanjut, permasalahan muncul pada tahun 2015 ketika terjadi perubahan batas Desa yang mengakibatkan sebagian wilayah Desa Long Pejeng menjadi wilayah Desa Long Bentuq. Hal mana menimbulkan tuntutan dari Kepala Adat Dayak Long Bentuq agar PT SAWA membayar denda adat sebesar Rp15 Milyar.

“Karena lokasi tanah yang dipersoalkan tersebut sudah pernah diganti rugi, tentu kami menolak tuntutan tersebut. Tidak mungkin perusahaan memberikan ganti rugi dua kali atas lahan yang sama. Namun jika warga Long Bentuq menginginkan kemitraan, perusahaan akan segera merealisasikannya,” ungkap Angga.

Menurutnya, areal PT SAWA yang masuk ke dalam wilayah 3 Desa di Kecamatan Busang sudah mendapatkan Sertifikat HGU seluas ± 7.343 Ha. Operasi perusahaan juga dilengkapi dengan sejumlah izin seperti Izin Lokasi, Izin Amdal, dan Izin Usaha Perkebunan (IUP).

Tuntutan Kepala Adat Dayak Long Bentuq tersebut, kata dia lebih lanjut, pernah dimediasi oleh Pemkab Kutai Timur pada tahun 2015. Kesimpulan saat itu, tuntutan tidak dapat dikabulkan karena perusahaan telah memberi ganti rugi kepada seluruh masyarakat dengan persetujuan Kepala Adat Dayak setempat.

“Dan pada diktum ketiga SK Bupati tahun 2015 tentang perubahan batas Desa, telah ditegaskan bahwa hak-hak yang telah ada tetap berlaku dan diakui keberadaannya,” jelasnya.

Hasil rapat fasilitasi di Pemkab Kutim tahun 2015 itu, sambungnya, juga menyimpulkan bahwa klaim atas Hak Ulayat masyarakat adat Long Bentuq tidak dapat diakomodir oleh Pemerintah Kabupaten, karena keberadaannya belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat.

Baca juga : Kasus Covid-19 Meningkat, Gubernur Kaltim Keluarkan Instruksi

Pada akhir tahun 2020, kata Angga, tuntutan Kepala Adat Dayak Long Bentuq kembali bergulir dengan permintaan denda adat sebesar Rp15 Milyar. Sebagai jalan tengah, PT SAWA menawarkan kerja sama kemitraan bagi masyarakat Desa Long Bentuq seperti Percetakan Persawahan, Tanaman Jagung, Tanaman Kelapa Sawit, Ternak Sapi dan sebagainya.

“Namun tawaran tersebut ditampik oleh Kepala Adat Dayak Long Bentuq. Padahal Kepala Desa Long Bentuq beserta mayoritas masyarakat Desa Long Bentuq sudah menerima baik solusi tersebut,” imbuh Angga.

Sejak 30 Januari 2021, Kepala Adat Dayak Long Bentuq menutup/memortal akses jalan di Km 16. Menurut Angga, penutupan tersebut menyebabkan PT SAWA tidak dapat menyalurkan produksi Sawitnya serta mengganggu aktivitas masyarakat dan perusahaan lain, yang biasa menggunakan akses jalan tersebut.

“Hal ini juga mengganggu misi pemerintah dalam mendorong produktivitas Sawit sebagai penopang ekonomi nasional di masa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19,” tandasnya. (HK.net)

Penulis : RH

Editor   : Lukman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *