Usai Tuntutan, Sidang Tertunda Selama 1 Tahun
Dituntut 5 Tahun, Mantan Dekan Fahutan Unmul Divonis Bebas
HUKUMKriminal.Net, SAMARINDA : Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Samarinda yang dipimpin Deky Velix Wagiju SH MH didampingi Hakim Anggota Parmatoni SH dan Anggraeni SH, menjatuhkan vonis bebas terdakwa Chandra Dewana Boer (CDB) pada sidang putusan di Pengadilan Tipikor Samarinda, Kamis (21/11/2019) sore.
Luapan kegembiraan langsung terpancar di wajah CDB, mantan Dekan Fahutan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. CDB yang kini menggunakan kursi roda akibat terkena penyakit stroke, terlihat sumringah dan mengangkat kedua tangan lalu mengusap wajahnya pertanda dia merasa sangat bersyukur atas vonis bebas ini.
Puluhan mahasiswa yang mengikuti jalannya persidangan usai Palu Hakim diketuk, spontan mengerumuni Chandra lalu menyalami dan memberikan ucapan selamat kepadanya.
Pria dengan ciri khas rambut gondrong inipun nampak senang atas dukungan yang diberikan kepada dirinya. Dia bersama Penasehat Hukumnya kemudian bergegas keluar ruang sidang diikuti puluhan mahasiswa.
Dalam perkara divonis bebasnya CDB yang sidangnya sempat tertunda 1 tahun itu, pertimbangan Majelis Hakim menyimpulkan bahwa terdakwa tidak ada kesalahan dan perbuatan pada diri terdakwa, sehingga tidak dapat dijatuhkan hukuman terkait dugaan tindak pidana korupsi dana abadi dan penelitian di Fahutan Unmul.
Hakim menilai perbuatan terdakwa yang tidak melaporkan hasil kerja sama penelitian dengan pihak ketiga, dan langsung mempergunakan dana tanpa melaporkan sebagai pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) kepada Universitas Mulawarman, adalah merupakan maladministrasi semata. Dan waktu itu tahun 2011 dalam masa transisi pemberlakuan aturan BLU di Unmul, dimana terdakwa Chandra adalah Dekan Pengganti Antar Waktu.
Atas vonis bebas ini, JPU Sri Rukmini Setyaningsih SH bersama Indriasari Sikapang SH dari Kejari Samarinda menyatakan pikir-pikir.
“Pikir-pikir Yang Mulia,” kata Sri.
Pada sidang sebelumnya, terdakwa Chandra dituntut JPU dengan hukuman pidana penjara selama 5 tahun denda Rp50 Juta subsidair 3 bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp1.075.157.999,00 atau harta bendanya disita dan dilelang sebagai pengganti untuk menutupi kerugian negara, atau ditambah hukuman 2 tahun 6 bulan bilamana terdakwa tidak bisa membayar uang pengganti tersebut.
Terdakwa Chandra dinyatakan JPU dalam amar tuntutannya tanggal 14 November 2018 terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam dakwaan subsidair.
Di luar persidangan Hendrik Kusnianto SH selaku Penasehat Hukum Chandra kepada wartawan mengaku cukup puas dengan vonis bebas itu.
Menurut Hendrik, kliennya ini tidak terbukti bersalah sebagaimana dakwaan JPU Pasal 2 primair dan Pasal 3 subsidair UU Tipikor, bahwa hasil penelitian Fahutan digunakan untuk membeli mobil.
“Kita cukup puaslah dengan vonis ini, karena sesuai dengan pembelaan yang kita lakukan bahwa penggunaan dana sudah sesuai RAB,” ujar Hendrik.
Kasus ini mencuat bermula adanya dugaan penyalahgunaan pembelian mobil Ford Everest, penyidik Kejari Samarinda di bawah kepemimpinan Kajari Samarinda Costantein Ansanay waktu itu mengungkapkan, penyidik menemukan penggunaan rekening pribadi Chandra menampung dana kerjasama penelitian dengan PT TCM sebesar Rp852 Juta.
Selain itu, juga ditemukan 6 perjanjian kerja sama dengan PT Berau Coal yang juga menggunakan rekening pribadi di Bank Mandiri. Padahal rekening resmi Fahutan di BNI.
“Bisa saja menggunakan lebih dari satu rekening, asalkan mendapat persetujuan Kementerian Keuangan RI,” kata Ansanay.
Dijelaskan, dana di Fahutan semula diduga disalahgunakan sekitar Rp400 Juta. Namun setelah tim melakukan pengumpulan data, penyelidikan dan penyidikan, dana yang ada berkembang menjadi Rp2,7 Miliar. Rp400 juta tersebut digunakan untuk membeli mobil atas nama tersangka. Ada STNK dan BPKB atas nama yang bersangkutan.
“Jadi jelas perbuatan formil dan materilnya ada,” jelas Ansanay ketika itu kepada wartawan. (HK.net)
Penulis : ib
Editor : Lukman