Sidang Perlawanan Eksekusi Ernie

Saksi Kunci Ungkap Jejak Awal Tanah di PM Noor

Berita Utama Pengadilan Perdata
Abraham Ingan, SH bersamar Saksi Hj. Aspiah. (foto: ib)
Abraham Ingan, SH bersamar Saksi Hj. Aspiah. (foto: ib)

HUKUMKriminal.Net, SAMARINDA : Matahari siang belum sepenuhnya condong ketika ruang sidang Prof Dr Mr Wirjono Prodjodikoro SH di Pengadilan Negeri Samarinda kembali menjadi pusat perhatian, Selasa (25/11/2025).

Abraham Ingan, SH bersama Saksi Hj. Aspiah yang dihadirkan terlawan 4 Heryono Admaja menjadi saksi kunci dalam perkara 143/Pdt.Bth/2025/PN Smr.

Deretan kursi yang biasanya lengang tampak terisi, menandai sidang gugatan perlawanan Erni Aguswati Hartojo (63) nomor perkara 143/Pdt.Bth/2025/PN Smr kembali dilanjutkan. Suasana ruang sidang hening, namun terasa tegang ketika 5 Saksi Heryono Atmadja memasuki ruangan untuk diambil sumpah.

Mereka datang membawa cerita. Sebagian tentang aktivitas puluhan tahun di atas sebidang tanah, sebagian lagi membawa ingatan lama soal asal-usul lahan di kawasan PM Noor yang menjadi objek perlawanan. Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Agung Prasetyo SH MH, fakta-fakta mulai dirangkai satu per satu.

Tiga saksi pertama adalah orang-orang yang paling lama bersentuhan dengan tanah milik Heryono Atmadja (Terlawan IV). Abdu Salam, misalnya, sudah menyewa lahan itu sejak 2012. Ia masih mengingat dengan jelas kondisi awal lahan itu kosong, tanpa bangunan, dan para penyewa membangun kios mereka sendiri.

Berbeda dengan Agus Baehiri pengepul besi tua mengaku sudah dua dekade menempati lahan tersebut. Selama itu pula ia tak pernah mendengar ada orang lain yang mengklaim kepemilikan.

“Awalnya saya bayar sewa per tahun. Karena tidak sanggup, saya minta bulanan,” ujarnya lugas di hadapan hakim.

Sementara itu, Tohir datang bukan sebagai penyewa, melainkan penjaga. Ia diberi izin mengolah sebagian kecil tanah untuk bercocok tanam, dengan tugas utama menjaga dan membersihkannya. Baru belakangan ini, ia mendengar ada pihak lain yang mengklaim lahan tersebut.

Ketiga saksi itu sepakat, mereka hanya mengenal satu nama sebagai pemilik lahan, yakni Heryono Atmadja. Bahkan ketika pemerintah memberikan ganti rugi pelebaran parit, kompensasi tersebut diserahkan kepada Heryono. Tahun pastinya mereka lupa, tapi peristiwa itu, kata mereka, nyata terjadi.

Setelah ketiga saksi keluar, dua saksi berikutnya, Anton Surya dan Hj Aspiah masuk bersamaan. Anton adalah pemilik tanah bersertifikat yang berbatasan langsung dengan lahan Heryono, bagian sebelah barat. Ia membeli tanahnya pada 2004 dan pernah bersinggungan persoalan batas dengan Heryono.

Selain itu, ia juga pernah memberikan kesaksian dalam dua perkara sebelumnya, kasus pidana pemalsuan surat oleh Rahol, dan gugatan perdata Amransyah yang mengklaim lahan tersebut.

Namun sorotan utama tertuju pada Hj Aspiah, saksi kunci yang membawa informasi paling jauh ke belakang. Dengan suara pelan namun mantap, Aspiah menuturkan kembali asal-usul tanah yang kini menjadi sengketa. Menurutnya, tanah itu milik almarhum suaminya, H Muhammad, yang mendapatkannya dari H Mulin mantan Ketua RT di PM Noor. Bukan warisan, bukan pula hibah turun-temurun, melainkan pemberian yang dimaksudkan untuk digarap.

“Suami saya dapat tanah itu sejak tahun 1972. Waktu itu masih hutan. Saya pernah diajak ke lokasi,” kenangnya.

Aspiah juga menepis persepsi bahwa Gumri ayah tiri Muhammad memiliki tanah di wilayah tersebut. Menurutnya, Gumri adalah pedagang Sembako dan tidak memiliki lahan garapan di PM Noor. Iapun tidak tahu kepada siapa suaminya menjual tanah tersebut, namun memastikan bahwa dulunya tanah itu pernah ditanami padi.

Kesaksian Aspiah membuka simpul penting dalam perkara ini. Tanah tersebut berasal dari pemberian H Mulin kepada H Muhammad, lalu berpindah tangan ke Hj Zuriati sebelum akhirnya dibeli oleh Heryono, suami Erni.

Di luar ruang sidang, Kuasa Hukum Pelawan Abraham Ingan SH dan Sujanlie Totong SH MH menegaskan kesaksian Anton dan Aspiah memperkuat fakta-fakta sebelumnya.

Baca Juga:

Menurut mereka, kesaksian Anton konsisten dengan keterangan pada perkara pidana Rahol dan perkara perdata yang melibatkan Amransyah. Sementara keterangan Aspiah memastikan bahwa tanah tersebut bukan warisan, melainkan tanah garapan yang diperoleh secara sah dari Ketua RT setempat pada masa itu.

Abraham memaparkan, luas tanah yang diberikan kepada H Muhammad sekitar 9.374 meter persegi. Ia berharap Majelis Hakim mempertimbangkan fakta-fakta tersebut dalam putusan nanti.

Sujanlie menambahkan, akar masalah sengketa ini muncul dari perkara perdata Nomor 131/Pdt.G/2023/PN Smr. Dalam putusan itu, lahan bersertifikat milik kliennya dikalahkan oleh SPPT palsu tahun 2015. Rahol sebagai pengguna surat palsu sudah dihukum 1 tahun 6 bulan penjara, dan permohonan Peninjauan Kembali (PK) juga ditolak.

Majelis Hakim menjadwalkan sidang lanjutan pekan depan dengan agenda pembuktian surat. Meski suasana sidang hari itu telah berakhir, cerita panjang tentang tanah yang sudah dikelola sejak awal 1970-an tampaknya belum menemukan ujungnya. Yang jelas, satu demi satu simpul masa lalu mulai terurai di ruang sidang Prof Dr Mr Wirjono Prodjodikoro SH Pengadilan Negeri Samarinda. (HUKUMKriminal.Net)

Penulis: Ib

Editor: Lukman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *