Diduga Ulah Mafia Tanah, Berpotensi Rugikan Keuangan Negara Rp75 Milyar

Kejati Sulsel Tingkatkan Status Kasus Pembangunan Bendungan Paselloreng

Berita Utama Kejaksaan Kejati
Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel. (foto: Exclusive)
Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel. (foto: Exclusive)

HUKUMKriminal.Net, WAJO: Kegiatan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel) menimbulkan masalah. Tim Penyelidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulsel, telah melakukan Penyelidikan atas dugaan adanya Mafia Tanah pada Pembayaran Biaya Ganti Rugi Lahan Masyarakat.

Penyelidikan tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel, Nomor: Print- 92/P.4/Fd.1/ 01/2023 tanggal 31 Januari 2023.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam Siaran Pers Nomor : PR-196/P.4.3.6/Kph.3/07/2023 yang diterima HUKUMKriminal.Net, Sabtu (22/7/2023) melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, yang disampaikan Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel Soetarmi yang mengatakan, Kamis (20/7/2023) telah dilakukan ekspose perkara.

“Tim Penyelidik Kejaksaan Tinggi Sulsel telah menaikkan kasus tersebut ke tahap Penyidikan,” jelas Soetarmi.

Perkara ini ditingkatkan ke tahap Penyidikan, jelas Soetarmi, karena Tim Penyelidik telah menemukan adanya peristiwa pidana. Selanjutnya pada tahap Penyidikan akan dilakukan pengumpulan bukti-bukti, yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan siapa yang bertanggungjawab secara pidana.

“Penyidikan tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print – 664/P.4/Fd.1/07/2023 Tanggal 20 Juli 2023,” sambung Soetarmi.

Lebih lanjut Soetarmi menjelaskan posisi perkara tersebut. Tahun 2015 Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) melaksanakan pembangunan Fisik Bendungan Passeloreng di Kecamatan Gilireng, Wajo.

Untuk kepentingan pembangunan Bendungan tersebut, Gebernur Sulawesi Selatan mengeluarkan Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Passeloreng, Kabupaten Wajo.

Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng memerlukan lahan, terdiri dari lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo. Yang terletak di Desa Passelloreng, dan Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan HPT.

Melalui proses perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulsel, salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Wajo.

Pada tanggal 28 Mei 2019, terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor : SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019, tentang Perubahan Kawasan Hutan menjadi bukan Hutan Kawasan Hutan seluas + 91.337 Hektar (Ha).

Perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 84.032 Ha, dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 1.838 Ha di Provinsi Sulsel.

“Setelah dikeluarkan sebagai kawasan hutan dan mendengar bahwa dalam lokasi tersebut akan dibangun Bendungan Paselloreng, ada oknum yang memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Wajo, membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada tanggal 15 April 2021,” ungkap Soetarmi.

Baca Juga:

SPORADIK tersebut, lanjut Soetarmi, lalu diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselloreng dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani. Sehingga dengan SPORADIK tersebut seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut, padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut adalah kawasan hutan.

Kemudian sebanyak 246 bidang tanah tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian, oleh Satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum tersebut.

Berdasarkan foto Citra Satelit yang dikeluarkan pada tahun 2015 oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), nampak bahwa eks kawasan hutan tersebut tahun 2015 masih merupakan kawasan hutan dan bukan merupakan tanah garapan sebagaimana klaim masyarakat.

“Dengan demikian, lahan tersebut tidaklah termasuk dalam kategori sebagai lahan Garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017, tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan,” jelas Soetarmi.

Setelah dinyatakan memenuhi syarat oleh Satgas A dan Satgas B untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian terhadap 246 bidang tanah tersebut, kemudian dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paselloreng. Selanjutnya diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah dan tanaman serta jenis dan jumlahnya.

Namun dalam pelaksanaannya, KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman tetapi hanya berdasarkan sampel.

Berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut, BBWS Pompengan meminta Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) Kementerian Keuangan sebagai Lembaga yang membiayai pengadaan tanah tersebut, melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah  seLuas + 70,958 Ha dengan total pembayaran sebesar Rp75.638.790.623,-. (Rp75 Milyar).

Karena 241 bidang tanah tersebut merupakan ex-kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai Lahan Garapan, maka pembayaran 241 bidang tanah telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75.638.790.623,-.

Karena pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan, instansi yang memerlukan tanah cukup mengajukan permohonan pelepasan status kawasan melalui Gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kajati Sulsel Leonard Eben Ezer Simanjuntak meminta kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini, untuk koperatif dan tidak melakukan Tindakan yang dapat menghilangkan barang bukti sehingga dapat mempersulit jalannya pemeriksaan. (HUKUMKriminal.Net)

Sumber: Siaran Pers

Editor: Lukman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *